Paradigma News

Fitrah Ilahiyah Insan


Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) suatu hari memanggil seorang pemuda miskin berkulit hitam. Ia belum menikah meski usianya sudah mulai beranjak tua. Rupanya, dengan keadaannya itu, ia tak percaya diri untuk melamar seorang gadis.

Nama pemuda itu Julaibib. Tak banyak yang mengenal nama itu. Meski miskin, ia pemuda yang saleh. Karena itulah Rasulullah SAW menyayangi pemuda itu.

Setelah pemuda itu datang menghadap, Rasulullah SAW bertanya, mengapa ia belum juga menikah? Dengan tersipu-sipu pemuda itu menjelaskan keadaannya.

Rasulullah SAW kemudian menawarkan untuk mencari wanita yang cocok untuknya. Tentu saja Julaibib tidak menolak.

Tak lama kemudian Rasulullah SAW melamarkan seorang gadis cantik dari kaum Anshar untuk Julaibib. Ayah sang gadis mulanya tak langsung menerima lamaran tersebut. Katanya, “Ya Rasulullah, aku akan meminta persetujuan ibunya dulu.”

Rasulullah SAW mengizinkan. Lalu, ayah sang gadis pergi menemui istrinya. Betapa kagetnya sang istri manakala mengetahui laki-laki yang ditawarkan Rasulullah SAW adalah Julaibib. Ia tahu persis bagaimana keadaan pemuda itu.

“Tidak! Demi Allah, saya bersumpah mengatakan tidak. Apa Rasulullah tidak mendapatkan pemuda lain selain Julaibib? Padahal kita telah menolak lamaran dari fulan dan fulan?” katanya.

Di balik tirai, si gadis mendengar semua percakapan kedua orang tuanya. Ketika ayahnya hendak pergi menyampaikan hasil musyawarahnya kepada Rasul SAW, gadis itu keluar dari kamarnya. Ia berkata kepada kedua orangtuanya, “Apakah ayah dan ibu ingin mengembalikan urusan itu kepada Rasulullah? Jika beliau telah ridha maka nikahkan saja pemuda itu denganku.”

Rupanya gadis salehah itu telah mengabaikan keberatan kedua orang tuanya. Dengan penuh keyakinan ia menyatakan bersedia menikah dengan Julaibib dan menerima segala kekurangannya.

Mendengar perkataan sang anak, kedua orangtua itu tersadar. Ayahnya berkata, “Engkau benar anakku.”Lalu pergilah ayah gadis itu menemui Rasulullah SAW dan berkata, “Jika Rasulullah telah ridha maka kami pun ridha.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Sesungguhnya aku telah ridha.” Maka menikahlah pemuda berkulit hitam yang miskin itu dengan gadis rupawan pilihan Rasulullah SAW.

Tak lama kemudian datang seruan jihad dari Rasulullah SAW menghadapi kaum kafir. Julaibib ikut menyambut seruan itu, berangkat ke medan perang bersama Rasulullah SAW dan para Sahabat.

Setelah perang usai, Rasulullah SAW dan para Sahabat mendapati Julaibib telah terbunuh. Di sekelilingnya bergelimpangan mayat tujuh orang musyrik yang telah ia bunuh.
Rasulullah SAW berkata, “Ia (Julaibib) termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya.”

Beliau sampai mengulang perkataan ini hingga tiga kali, lalu mengangkat dan memanggul jasad Julaibib, kemudian menguburkannya.

Sepeninggal Julaibib, sang isteri yang ditinggalkannya tetap istiqamah meneruskan perjuangan suaminya menjalankan syariat Allah Ta’ala. Anas bin Malik berkata, ”Sungguh aku lihat di kemudian hari wanita itu termasuk orang yang paling banyak bersedekah di kota Madinah.”

Fitrah Ilahiyah
Kisah di atas memberikan gambaran kepada kita sikap dua insan yang sama-sama mendahulukan iman daripada yang lain. Sang gadis bahkan lebih cinta kepada Rasulullah SAW dibanding kedua orang tuanya, bahkan dirinya sendiri.

Keduanya mendapatkan kemuliaan di sisi manusia dan di sisi Allah Ta’ala. Di hadapan manusia, kebaikan keduanya dikenang sepanjang masa. Sedang di sisi Allah Ta’ala, keduanya mendapatkan sebaik-baik tempat, yaitu surga. Itulah fitrah Ilahiyah.

Fitrah ini telah ada pada diri manusia sejak ruh ditiupkan sebelum manusia lahir. Karena fitrah iniah manusia merasa butuh kepada Tuhannya. Manusia selalu mencari sesuatu yang akan disembah, dimintai pertolongan, dan tempat menyandarkan semua persoalan dirinya.
Fitrah ini berlaku universal tanpa terkecuali. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, manusia akan gelisah, bimbang, dan merasa hampa.

Firman Allah Ta’ala,  
”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Ali Imran [3]: 83)

Iman Landasan Pokok
Segala amalan tidak akan ada artinya bila tidak dilandasi oleh iman kepada Allah Ta’ala dan mengharapkan keridhaan-Nya. Berapa pun banyaknya amal manusia, jika ia bukan seorang Muslim dan tidak dilakukan dengan ikhlas, Allah Ta’ala tidak akan menerimanya.

Firman Allah Ta’ala: ”Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi air itu, dia tidak mendapati sesuatu apapun.” (An-Nur [24]: 39)

Ketika Rasulullah SAW ditanya amal apa yang paling utama dalam Islam, beliau menjawab, ”Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Pada kesempatan lain beliau memberi jawaban yang hampir sama, “Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.”Ketika menjelaskan tentang iman dan cabang-cabangnya, beliau bersabda, ”Yang paling utama adalah kalimat Laa ilaha illallah.”

Walaupun jawaban beliau berbeda-beda, tetapi intinya sama, yaitu mentauhidkan Allah Ta’ala. Itulah amalan paling utama seorang mukmin. Tanpa mentauhidkan Allah Ta’ala, amalan apapun akan sia-sia.

Sumber Kebahagiaan
Apabila seorang mukmin telah melandasi hidupnya dengan iman kepada Allah Ta’ala, maka pasti hidupnya akan bahagia, tenang, dan damai.

Allah Ta’ala berfirman, ”Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al-Fath [48]: 4)

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah [2]: 11

Tapi, apabila seseorang lebih mengutamakan panggilan nafsunya, kalau toh ia memperoleh kesenangan, maka kesenangan itu hanyalah bersifat semu, sesaat, kemudian berganti dengan kesedihan, ketakutan, kegalauan yang berkepanjangan.

*Muh. Khomaini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. Mr. Pinter - All Rights Reserved
Template Created by ThemeXpose