Dalam
sebuah riwayat dikisahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) suatu
hari memanggil seorang pemuda miskin berkulit hitam. Ia belum menikah meski
usianya sudah mulai beranjak tua. Rupanya, dengan keadaannya itu, ia tak
percaya diri untuk melamar seorang gadis.
Nama pemuda itu Julaibib. Tak banyak yang mengenal nama itu. Meski miskin, ia pemuda yang saleh. Karena itulah Rasulullah SAW menyayangi pemuda itu.
Setelah
pemuda itu datang menghadap, Rasulullah SAW bertanya, mengapa ia belum juga
menikah? Dengan tersipu-sipu pemuda itu menjelaskan keadaannya.
Rasulullah
SAW kemudian menawarkan untuk mencari wanita yang cocok untuknya. Tentu saja
Julaibib tidak menolak.
Tak lama
kemudian Rasulullah SAW melamarkan seorang gadis cantik dari kaum Anshar untuk
Julaibib. Ayah sang gadis mulanya tak langsung menerima lamaran tersebut.
Katanya, “Ya Rasulullah, aku akan meminta persetujuan ibunya dulu.”
Rasulullah
SAW mengizinkan. Lalu, ayah sang gadis pergi menemui istrinya. Betapa kagetnya
sang istri manakala mengetahui laki-laki yang ditawarkan Rasulullah SAW adalah
Julaibib. Ia tahu persis bagaimana keadaan pemuda itu.
“Tidak!
Demi Allah, saya bersumpah mengatakan tidak. Apa Rasulullah tidak mendapatkan
pemuda lain selain Julaibib? Padahal kita telah menolak lamaran dari fulan dan
fulan?” katanya.
Di balik
tirai, si gadis mendengar semua percakapan kedua orang tuanya. Ketika ayahnya
hendak pergi menyampaikan hasil musyawarahnya kepada Rasul SAW, gadis itu
keluar dari kamarnya. Ia berkata kepada kedua orangtuanya, “Apakah ayah dan ibu
ingin mengembalikan urusan itu kepada Rasulullah? Jika beliau telah ridha maka
nikahkan saja pemuda itu denganku.”
Rupanya
gadis salehah itu telah mengabaikan keberatan kedua orang tuanya. Dengan penuh keyakinan
ia menyatakan bersedia menikah dengan Julaibib dan menerima segala
kekurangannya.
Mendengar
perkataan sang anak, kedua orangtua itu tersadar. Ayahnya berkata, “Engkau
benar anakku.”Lalu pergilah ayah gadis itu menemui Rasulullah SAW dan berkata, “Jika
Rasulullah telah ridha maka kami pun ridha.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Sesungguhnya aku telah ridha.” Maka
menikahlah pemuda berkulit hitam yang miskin itu dengan gadis rupawan pilihan
Rasulullah SAW.
Tak lama
kemudian datang seruan jihad dari Rasulullah SAW menghadapi kaum kafir.
Julaibib ikut menyambut seruan itu, berangkat ke medan perang bersama
Rasulullah SAW dan para Sahabat.
Setelah
perang usai, Rasulullah SAW dan para Sahabat mendapati Julaibib telah terbunuh.
Di sekelilingnya bergelimpangan mayat tujuh orang musyrik yang telah ia bunuh.
Rasulullah
SAW berkata, “Ia (Julaibib) termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya.”
Beliau sampai mengulang perkataan ini hingga tiga kali, lalu mengangkat dan memanggul jasad Julaibib, kemudian menguburkannya.
Sepeninggal
Julaibib, sang isteri yang ditinggalkannya tetap istiqamah meneruskan
perjuangan suaminya menjalankan syariat Allah Ta’ala. Anas bin Malik berkata,
”Sungguh aku lihat di kemudian hari wanita itu termasuk orang yang paling banyak
bersedekah di kota Madinah.”
Fitrah
Ilahiyah
Kisah di
atas memberikan gambaran kepada kita sikap dua insan yang sama-sama
mendahulukan iman daripada yang lain. Sang gadis bahkan lebih cinta kepada
Rasulullah SAW dibanding kedua orang tuanya, bahkan dirinya sendiri.
Keduanya
mendapatkan kemuliaan di sisi manusia dan di sisi Allah Ta’ala. Di hadapan
manusia, kebaikan keduanya dikenang sepanjang masa. Sedang di sisi Allah
Ta’ala, keduanya mendapatkan sebaik-baik tempat, yaitu surga. Itulah fitrah
Ilahiyah.
Fitrah ini
telah ada pada diri manusia sejak ruh ditiupkan sebelum manusia lahir. Karena
fitrah iniah manusia merasa butuh kepada Tuhannya. Manusia selalu mencari
sesuatu yang akan disembah, dimintai pertolongan, dan tempat menyandarkan semua
persoalan dirinya.
Fitrah ini
berlaku universal tanpa terkecuali. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi,
manusia akan gelisah, bimbang, dan merasa hampa.
Firman
Allah Ta’ala,
”Maka
apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Ali Imran [3]: 83)
Iman
Landasan Pokok
Segala
amalan tidak akan ada artinya bila tidak dilandasi oleh iman kepada Allah
Ta’ala dan mengharapkan keridhaan-Nya. Berapa pun banyaknya amal manusia, jika
ia bukan seorang Muslim dan tidak dilakukan dengan ikhlas, Allah Ta’ala tidak
akan menerimanya.
Firman
Allah Ta’ala: ”Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang
dahaga, tetapi bila didatangi air itu, dia tidak mendapati sesuatu apapun.”
(An-Nur [24]: 39)
Ketika
Rasulullah SAW ditanya amal apa yang paling utama dalam Islam, beliau menjawab,
”Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Pada
kesempatan lain beliau memberi jawaban yang hampir sama, “Aku beriman kepada
Allah, kemudian istiqamahlah.”Ketika
menjelaskan tentang iman dan cabang-cabangnya, beliau bersabda, ”Yang paling
utama adalah kalimat Laa ilaha illallah.”
Walaupun
jawaban beliau berbeda-beda, tetapi intinya sama, yaitu mentauhidkan Allah
Ta’ala. Itulah amalan paling utama seorang mukmin. Tanpa mentauhidkan Allah
Ta’ala, amalan apapun akan sia-sia.
Sumber
Kebahagiaan
Apabila
seorang mukmin telah melandasi hidupnya dengan iman kepada Allah Ta’ala, maka
pasti hidupnya akan bahagia, tenang, dan damai.
Allah
Ta’ala berfirman, ”Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang telah ada).” (Al-Fath [48]: 4)
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah [2]: 11
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah [2]: 11
Tapi,
apabila seseorang lebih mengutamakan panggilan nafsunya, kalau toh ia
memperoleh kesenangan, maka kesenangan itu hanyalah bersifat semu, sesaat,
kemudian berganti dengan kesedihan, ketakutan, kegalauan yang berkepanjangan.
*Muh. Khomaini
*Muh. Khomaini
0 komentar:
Posting Komentar